Mengenal Lebih Dalam tentang Acquihiring

Published on: Tuesday, Jul 02, 2024 • Updated: Wednesday, Oct 29, 2025

Mengenal Lebih Dalam tentang Acquihiring

Acquihiring: Strategi Mengakuisisi Perusahaan Demi Timnya (Bukan Produknya)

Latar Cerita: Ketika Yang Dibeli Bukan Perusahaannya, Tapi Manusianya

Bayangkan Anda sedang duduk di ruang meeting yang lampunya terlalu terang. Tim Anda ramping, produk mulai menemukan momentumnya, pasar merespons. Ini momen yang selama ini ditunggu: waktunya scale.

Lalu kenyataan menampar.

Roadmap kuartal depan butuh 12 engineer baru, 3 product manager, 2 data analyst, 1 head of growth, plus tim ops untuk ekspansi pasar baru. HR bilang proses rekrutmen untuk satu posisi saja — dari sourcing, screening, interview teknis, nego kompensasi, sampai onboarding yang benar-benar membuat orang itu produktif — bisa makan 40 hari kerja dalam kondisi optimis. Itu untuk satu orang. Bukan dua belas. Apalagi seratus.

Di titik ini, banyak founder mulai menyadari sesuatu yang agak pahit: “Kita tidak kekurangan ide. Kita kekurangan orang yang bisa mengeksekusi ide dengan standar yang kita butuhkan.”

Dari sinilah strategi yang terdengar agak brutal namun sangat praktis mulai muncul: acquihiring.

“Di fase tertentu, Anda bukan lagi bersaing untuk pasar. Anda bersaing untuk manusia yang bisa mengeksekusi pasar itu.” — percakapan yang sering terjadi di ruangan yang lampunya terlalu terang tadi

Acquihiring bukan sekadar jargon Silicon Valley. Di banyak kasus, ini adalah keputusan bertahan hidup.


Apa Itu Acquihiring?

Secara sederhana, acquihiring adalah praktik membeli sebuah perusahaan bukan karena produknya, bukan karena brand-nya, bahkan bukan karena arus kasnya — tetapi karena timnya.

Perusahaan A mengakuisisi Perusahaan B, lalu orang-orang kunci dari Perusahaan B dibawa masuk untuk memperkuat organisasi Perusahaan A. Aset lain seperti produk, lisensi, atau intellectual property mungkin ikut berpindah, tapi itu bukan alasan utama transaksi.

Dalam bentuk sederhananya:

  • Akuisisi biasa = membeli bisnisnya.
  • Acquihiring = membeli manusianya.

Motivasi utamanya adalah mendapatkan talenta berkualitas dalam jumlah signifikan secara cepat, terstruktur, sekaligus relatif lebih hemat dibandingkan proses rekrutmen konvensional.

“We didn’t buy the product. We bought the team.” — ungkapan yang sering dipakai eksekutif teknologi ketika ditanya kenapa mereka membeli startup yang produknya bahkan tidak lagi dilanjutkan

Dalam dunia yang bergerak cepat, ada momen ketika membangun tim dari nol itu terlalu mahal — bukan hanya mahal secara uang, tapi mahal secara waktu.


Masalah dan Kontradiksi: Perekrutan Massal Itu Mahal, Lambat, dan Tidak Pasti

Mari kita bicara apa yang sebenarnya ingin dipecahkan oleh acquihiring.

  1. Rekrutmen skala besar itu tidak linear. Merekrut satu engineer bagus itu sulit. Merekrut sepuluh engineer bagus yang bisa bekerja sebagai satu unit tanpa drama politik internal, tanpa ego saling tabrak, dan dengan standar kerja yang sama? Itu nyaris mustahil dilakukan cepat.
  2. Waktu jadi musuh strategi. Perusahaan teknologi yang agresif tidak bisa menunggu enam bulan hanya untuk menyusun tim produk baru. Ketika mereka ingin membuka lini produk baru atau ekspansi ke pasar baru, “tim A yang siap jalan hari Senin” punya nilai ekonomi yang sangat nyata.
  3. Biaya perekrutan bukan cuma gaji. Di atas gaji, ada cost iklan lowongan, agency recruitment fee, jam kerja HR, jam kerja engineering lead yang harus ikut technical interview, risiko salah hire, masa adaptasi budaya, churn 3 bulan pertama, dan seterusnya. Semua itu adalah uang.
  4. Kamu tidak hanya butuh individu. Kamu butuh sebuah sistem kerja. Tim yang sudah terbentuk punya bahasa kerja sendiri, SOP tidak tertulis, cara mengambil keputusan, ritme sprint, bahkan chemistry personal. Itu semua tidak bisa dibeli di JobStreet.

Di sinilah acquihiring terasa seperti jalan pintas yang “tidak elegan tapi efektif”: alih-alih menambal satu per satu posisi kosong, perusahaan membeli satu tim yang sudah jadi, sudah teruji, dan sudah terbiasa bekerja bersama.


Kapan Acquihiring Masuk Akal?

Tidak semua perusahaan cocok melakukan acquihiring, dan tidak semua kondisi bisnis layak menggunakannya. Biasanya strategi ini muncul ketika beberapa kondisi berikut bertemu:

  • Butuh percepatan produk atau ekspansi. Misalnya perusahaan ingin meluncurkan produk baru dalam waktu sangat cepat, atau masuk kategori bisnis baru yang butuh kapabilitas teknis khusus (AI, IoT, keamanan data, dll.).
  • Punya dana, tapi tidak punya waktu. Perusahaan cukup kuat secara finansial, namun tidak bisa menunggu proses rekrutmen normal.
  • Ada celah kompetensi yang tidak bisa diisi internal. Contohnya: perusahaan kuat di sisi komersial tapi lemah di engineering, atau kuat di aplikasi konsumen tapi lemah di infrastruktur.
  • Persaingan talenta di pasar sedang brutal. Ketika talent war di pasar tenaga kerja membuat hiring tradisional jadi nyaris tidak rasional, acquihiring bisa jadi lebih efisien.
  • Perusahaan target punya DNA tim yang cocok. Artinya: budaya kerjanya mirip, standar teknisnya tidak perlu direvisi besar-besaran, dan leadership-nya masih mau ikut bergabung, bukan langsung exit.

Singkatnya, acquihiring adalah cara “membeli waktu” dan “membeli kepastian kualitas eksekusi”.


Penerapan di Dunia Nyata

Praktik acquihiring ini bukan teori. Polanya sering terlihat seperti ini:

  • Perusahaan teknologi besar membeli perusahaan kecil yang punya tim engineer solid, walaupun produk perusahaan kecil tersebut tidak lagi dilanjutkan.
  • Startup yang sedang bertumbuh cepat membeli boutique agency atau konsultan teknologi agar langsung punya pasukan untuk mengerjakan inisiatif baru.
  • Perusahaan yang ingin masuk ke ranah baru (misalnya AI, IoT, atau data analytics) mengambil alih tim spesialis alih-alih membangun sendiri dari dasar.

Dalam banyak kasus, motivasinya tidak jauh-jauh dari dua hal:

  1. “Kami ingin membangun X, tapi kami tidak punya timnya.”
  2. “Mereka sudah bisa membangun X. Lebih cepat kalau mereka jadi bagian dari kami saja.”

Ada pola momentum yang berulang: perusahaan pembeli ingin menambah daya tembak tim dengan cepat supaya bisa membuka jalur pertumbuhan baru, bukan hanya memperbesar apa yang sudah ada.

Ini penting: acquihiring hampir selalu terkait dengan babak pertumbuhan berikutnya, bukan tahap bertahan hidup yang defensif. Itu juga sebabnya strategi ini umum dipakai oleh perusahaan yang sudah punya napas finansial cukup panjang.


Bagaimana Valuasi Acquihiring Dihitung?

Berbeda dengan akuisisi tradisional yang menghitung valuasi berbasis potensi bisnis (revenue, pertumbuhan pengguna, margin, aset strategis), valuasi acquihiring cenderung lebih “membumi”: berapa harga wajar untuk “membeli” tim ini utuh?

Komponen umum yang dipertimbangkan antara lain:

  • Market salary tim. Berapa total gaji tahunan orang-orang kunci jika dibayar sesuai harga pasar?
  • Hiring cost yang dihemat. Biaya yang tidak perlu lagi dikeluarkan seperti:
    • fee agency perekrutan,
    • jam kerja tim HR,
    • biaya iklan lowongan,
    • waktu leadership untuk wawancara,
    • waktu onboarding individu satu per satu.
  • Retention bonus. Insentif agar anggota tim mau ikut pindah dan bertahan setelah akuisisi, bukan langsung keluar.
  • Aset yang ikut terbawa. Misalnya kas perusahaan target, aset tidak lancar, infrastruktur, bahkan intellectual property.
  • Opportunity cost yang dihemat. Berapa nilai ekonomi dari tidak harus menunggu 3–6 bulan untuk membangun tim ini secara organik.
  • Severance cost (pesangon). Perlu juga dihitung biaya pesangon bagi anggota tim yang tidak ikut bergabung. Ini mengurangi valuasi bersih.

Secara garis besar, pendekatan kasarnya bisa dituliskan seperti ini:

Acquihire valuation
= (Market Salaries
 + Hiring Cost
 + Retention Bonus
 + Asset
 + Opportunity Cost)
 - Severance Cost

Mari ambil skenario ilustratif.

Sebuah perusahaan konsultan teknologi dengan 30 orang tim (kombinasi talenta teknis dan non-teknis) akan di-acquihire oleh perusahaan lain.

  • Total kompensasi setahun (market salary) seluruh tim: Rp3.000.000.000.
  • Hiring cost yang dihemat: Rp100.000.000.
  • Retention bonus: Rp20.000.000 per orang, dengan asumsi 25 orang bertahan → Rp500.000.000.
  • Aset perusahaan (kas, perangkat, lisensi, IP, dll.): Rp2.000.000.000.
  • Opportunity cost: Rp1.000.000.000 karena percepatan waktu.
  • Pesangon untuk yang tidak ikut bergabung: misal 5 orang, total Rp200.000.000.

Jika kita jumlahkan komponen positifnya:

  • Rp3.000.000.000
    • Rp100.000.000
    • Rp500.000.000
    • Rp2.000.000.000
    • Rp1.000.000.000 = Rp6.600.000.000.

Lalu kita kurangi pesangon Rp200.000.000.

Perkiraan valuasinya berada di sekitar Rp6.400.000.000.

Angka tersebut bukan harga resmi, tentu saja. Tapi ia memberi kita cara berpikir: acquihiring menghitung nilai “kita dapat tim siap pakai besok pagi” — bukan “berapa valuasi startup ini jika dilipatgandakan tiga tahun lagi”.

Menariknya, angka acquihiring sering kali terlihat “lebih rendah” daripada valuasi yang mungkin diharapkan founder jika startup-nya dinilai sebagai bisnis yang akan terus tumbuh. Karena memang tujuannya berbeda. Ini bukan exit glamor, ini exit fungsional.


Sisi Gelap: Ini Bukan Sekadar Transaksi HR

Acquihiring terdengar efisien. Tetapi di lapangan, ini jauh dari sederhana.

1. Integrasi budaya. Tim yang di-acquihire datang dengan cara kerja sendiri. Mereka terbiasa mengambil keputusan tertentu, dengan tempo tertentu, dan dengan struktur kepemimpinan tertentu. Begitu mereka masuk ke organisasi baru yang punya birokrasi, ritme meeting, atau prioritas politik berbeda — friksi akan muncul.

2. Ekspektasi psikologis. Bagi tim yang “dibeli”, ini momen yang ambivalen. Di satu sisi, mereka merasa dianggap bernilai. Di sisi lain, ada juga rasa kehilangan identitas: perusahaan lama mereka berhenti ada sebagai entitas independen. Tidak semua orang nyaman dengan itu.

3. Risiko retensi jangka menengah. Bahkan kalau angka retensi tahun pertama bagus, tidak ada jaminan bahwa talenta kunci akan bertahan setelah masa bonus retensi habis. Ini sering menjadi blind spot perusahaan pengakuisisi: mereka pikir sudah aman setelah deal selesai, padahal motivasi individu berubah seiring waktu.

4. Kompleksitas operasional. Secara legal, pajak, struktur kompensasi, struktur kepemilikan IP, status kontrak kerja — semua harus beres. Ini bukan “kita gabung saja ya” lalu besok semua langsung commit code di repo baru.

5. Reputasi. Jika acquihiring dilakukan dengan cara yang terlihat seperti “membeli orang” lalu membiarkan produk lama mati pelan-pelan, publik bisa menilai ini sebagai langkah dingin dan oportunis. Terutama jika brand lama punya komunitas atau user yang loyal.

Ada bagian emosional di sini, yang jarang dibahas di slide presentasi.


Menutup Lingkaran: Kembali ke Ruang Meeting yang Lampunya Terlalu Terang

Kita kembali ke ruang meeting tadi: roadmap tumbuh lebih cepat daripada organisasi. Sumber daya terbatas. Target agresif. Tenggat waktu tidak mau mundur.

Di titik seperti ini, acquihiring menawarkan sesuatu yang sulit ditolak: akses cepat ke sekelompok orang yang sudah terbiasa bekerja bersama, dengan skill yang Anda butuhkan, besok pagi.

Namun itu juga berarti mengambil alih bukan hanya tangan dan otak mereka, tapi juga warisan cara kerja mereka. Anda tidak hanya membeli kapasitas eksekusi. Anda sedang membawa pulang sebuah budaya mini.

Pada akhirnya, mungkin pertanyaan yang paling penting bukan “Apakah kita mampu melakukan acquihiring?”, tapi sesuatu yang sedikit lebih dalam:

Apakah organisasi kita siap menerima satu tim utuh — lengkap dengan identitas, kebiasaan, dan cara berpikirnya — lalu benar-benar memberi mereka ruang untuk tetap menjadi diri mereka, sambil membantu kita tumbuh lebih cepat?

Bangun bisnis yang jalan, bukan cuma ide di kepala

Jawab beberapa pertanyaan singkat tentang kondisi bisnismu, dan kami akan rekomendasikan kelas paling relevan: validasi masalah customer, bagi saham co-founder, sampai mindset founder yang tahan banting. Fokus, praktis, langsung bisa dipakai.

Coba Quiz Rekomendasi
Details
Dashboard